Kewargaan digital (digital citizenship) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi topik yang semakin hits setelah Covid-19 dan populernya ChatGPT, bagaimana dengan kita yang di perpustakaan? Kedua topik ini marak diperbincangkan: penggunaannya dalam tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sama seperti kehebohan di tahun 1983 saat peluncuran internet, masyarakat masih punya banyak keraguan. Apakah internet akan mengubah pendidikan menjadi ‘liar’?
Tiga puluh tahun lewat, terbukti, internet bukan menjadi ‘musuh’ pendidikan tapi justru menjadi alat bantu yang mampu menyampaikan informasi terkini. Kita hanya perlu memiliki keahlian (skill) tambahan, bagaimana cara memfilter dan mengetahui bahwa website tersebut terpercaya. Kemudahan akses kita hari ini kepada kecerdasan buatan tidak lagi bisa kita tutup atau hindari, khususnya untuk anak didik kita. Tapi harus kita hadapi. Bagaimana menghadapinya, khususnya bagi kita pustakawan yang bekerja di lembaga pendidikan? Apakah kita cuma jadi penonton, atau justru bisa jadi motor penggerak kecerdasan buatan di unit kerja kita?

Oleh karena itu, Pustakawan Mendunia membuat sesi literasi informasi gratis untuk teman-teman komunitas Pustakawan Mendunia. Sesi kelima ini membahas apa yang bisa pustakawan lakukan untuk mendukung program kewargaan digital dan kecerdasan buatan di tempat kita bekerja.
Kewargaan Digital (Digital Citizenship)
Di Indonesia, marak kita dengar berita kriminalitas anak remaja yang hilang atau mengalami celaka setelah punya chat intens dengan orang yang tidak dikenal (stranger) di media sosial. Di negara maju, sekolah sudah memasukkan pembelajaran media, kewargaan digital untuk siswa. Mereka diajarkan bahwa penting untuk menjaga data pribadi, tidak membagikan alamat rumah, sekolah, nama, bahkan chat dengan stranger internet. Secara khusus ada modul yang namanya kewargaan digital (digital citizenship) yang mengajarkan siswa strategi menggunakan internet dengan aman. Modul kewargaan digital ini ada di dalam kurikulum/pembelajaran di sekolah di negara-negara maju.
Indonesia yang memiliki subjek kurikulum yang begitu banyak, tidak punya keleluasaan untuk memasukkan materi penting seperti kewargaan digital ini. Bahkan tidak semua sekolah punya satu sesi khusus waktu wajib kunjung perpustakaan (sesi perpustakaan/library session). Bagaimana sekolah mau memasukkan materi kewargaan digital ke dalam kurikulum? Sekolah di Indonesia tidak punya role/peran khusus di sekolah yang bertanggung jawab memastikan materi kewargaan digital ini sampai kepada siswa.
Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence)
Di kurikulum International Baccalaurate (IB), kecerdasan buatan (artifical intellegence) bukanlah sesuatu yang bisa ditolak. Sekolah-sekolah IB bertanggung jawab untuk mempersiapkan siswanya menghadapi masa depan. Himbauan atau mandat dari kurikulum IB ini sifatnya mutlak dan tidak bisa ditawar. Berdasarkan mandat ini, sekolah punya PR besar. Sekolah harus memiliki sebuah acuan, agar siswa tahu menggunakan kecerdasan buatan dengan aman, transparan, dan taat pada integritas akademik (academic integrity).
Lagi-lagi, tidak (belum) ada role/peran khusus di sekolah yang bertanggung jawab secara langsung untuk menangani kecerdasan buatan. Sedangkan sehari-hari semua guru, termasuk IT Manager sekolah sudah punya banyak beban. Ada sebuah potongan “kue” baru menanti untuk diambil, “nganggur” di atas meja. Tapi siapa yang sempat mau melirik dan mengambil “kue” ini? Karena “harga kue” ini mahal. Artinya kalau seseorang mengambil tanggung jawab baru ini, job description dia akan semakin panjang, memakan waktu dan energi, dan tidak ada uang tambahannya.
Peran Pustakawan?
Pertama, role/peran pustakawan di sekolah sangatlah fleksibel. Bersyukurlah jika sekolah sudah mengalokasikan satu sesi pelajaran untuk waktu wajib kunjung perpustakaan di tingkat sekolah dasar. Paling tidak itu merupakan sebuah modal pertama untuk pustakawan menyiapkan lesson plan terkait dengan kesukaan membaca, literasi, termasuk kewargaan digital dan kecerdasan buatan. Ada kemudahan bagi pustakawan yang memiliki sesi perpustakaan dan bisa mulai memasukkan materi tentang digital citizenship dan artificial intelligence.
Alokasi waktu merupakan tantangan terberat khususnya bagi pustakawan di tingkat sekolah menengah dan tinggi. Pustakawan harus mampu meyakinkan pimpinan, bahwa sekolah harus mengajarkan materi kewargaan digital dan kecerdasan buatan. Masalahnya, sering kali posisi pustakawan ini dianggap ‘kecil’ atau malah tidak dianggap di sekolah. Banyak tipe leadership di sekolah, yang tidak suka melihat anak buah yang terlihat menonjol cerdas dan penuh dengan ide-ide baru. Seperti ada sebuah pertanyaan implisit yang akan diberikan kepada pustakawan cerdas yang datang dengan penuh ide ke pimpinannya, “Memangnya kamu siapa?” Inilah kenyataan di dunia kerja.
Kolaborasi dengan Warga Sekolah
Berdasarkan pengalaman Pustakawan Mendunia, tipe leadership yang feodal ini hanya bisa dihadapi dengan menunjukkan bahwa ide menjalankan digital citizenship dan artificial intelligence justru bukan datang dari pustakawan. Pustakawan Mendunia “beruntung” sempat mengikuti IB Workshop dengan topik terkait bersama dengan teman-teman guru yang lain. Setelah selesai mengikuti program tersebut, Pustakawan Mendunia menghubungi Direktur Inovasi (Departemen IT) dan bersama-sama, terciptalah sebuah Artificial Intelligence Committee (Komite Kecerdasan Buatan).
Klaim ide “bersama dengan teman-teman” inilah yang bisa mendongkrak kepercayaan pimpinan bahwa program kewargaan digital dan kecerdasan buatan terlaksana, termasuk dengan membuat sebuah Artificial Intelligence Policy/Guidelines sebagai acuan di sekolah.
Kebijakan Sekolah Terkait dengan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence Policy)
Menurut Pustakawan Mendunia, tidaklah bijak jika masing-masing guru langsung nekat menggunakan Kecerdasan Buatan begitu saja. Sedangkan belum ada aturan yang jelas dari sekolah mengenai batasan menggunakan kecerdasan buatan secara aman, transparan dan taat integritas akademik. “Menerbitkan” sebuah aturan/policy baru membutuhkan banyak energi, fokus, dan konsentrasi yang tercurah. Oleh karena itu, tidak mungkin seorang pustakawan mendadak datang begitu saja, hanya bermodalkan sampel AI Policy copy paste dari sekolah lain, dan mendadak datang ke pimpinan sekolah, berharap bahwa ide itu akan langsung mulus ‘goal.’
Kecerdasan Buatan merupakan sebuah isu baru, dan setiap pimpinan punya gaya dan cara berpikir sendiri: apa yang baik menurut beliau. Kecuali ide tersebut muncul dari gagasan Bapak/Ibu Boss sendiri, agak sulit jika pustakawan mendadak datang dan membawa ide baru berbobot ‘berat’ dan memberikan dampak besar-langsung ke seluruh warga sekolah. Oleh karena itu, penting bagi pustakawan untuk mencari rekan seperjuangan yang bisa bersama-sama mengajukan visi kemajuan sekolah di masa depan menggunakan kecerdasan buatan.
Kurikulum Digital Citizenship & Artificial Intelligence Literacy
Pustakawan Mendunia bersama dengan Direktur Inovasi (Departemen IT) lebih lanjut membuat sebuah jadwal pembelajaran kewargaan digital dan AI Literacy selama setahun. Kurang lebih selama 3 bulan kami menanti-nanti dari leadership team sekolah, apakah program ini akan berjalan? Program ini mencakup:
- Sesi khusus untuk guru, mengajarkan mereka cara menggunakan AI secara aman, transparan, dan taat integritas akademik
- Sesi khusus wali kelas berjumpa dengan siswanya, dan punya sesi 2 kali sebulan yang mencakup kewargaan digital dan kecerdasan buatan
- Sesi khusus pustakawan berjumpa dengan siswa per kelas, dan punya sesi AI. Bagaimana menggunakan AI secara aman, transparan, dan taat integritas akademik. Wali kelas diwajibkan hadir di sesi ini.
AI Policy sekolah akan menjadi acuan bagaimana materi kewargaan digital dan literasi kecerdasan buatan itu memiliki batasan aman. AI Policy sekolah akan menjadi “pagar” materi yang disampaikan kepada siswa. Pustakawan Mendunia menggunakan Common Sense Education sebagai referensi kurikulum dan materi ajar untuk Digital Citizenship dan Artificial Intelligence Literacy. Sama sekali tidak ada keribetan saat menggunakan materi dari website Common Sense. Semua Google Slides sudah ada, beserta dengan handoutnya.
Pustakawan Mendunia Terus Belajar
Salah satu visi Pustakawan Mendunia adalah pustakawan yang terus belajar. Dari dalam diri kita, kita harus memiliki jiwa haus ilmu dan gelut untuk terus belajar. Sulit dan hampir mustahil untuk pustakawan bisa memimpin jalannya program digital citizenship dan artificial intelligence di seluruh sekolah, jika kita tidak menguasai materinya dan tidak mampu bekerja sama dengan orang lain. Pustakawan Mendunia banyak membaca contoh AI Policy dari seluruh dunia-mengambil saripatinya, bahkan sampai ikut sesi Zoom Meeting tentang AI Policy di Amerika Serikat pada waktu tengah malam di Korea (saat ini Pustakawan Mendunia berlokasi di Korea). Pustakawan Mendunia juga getol mengikuti pelatihan AI dan digital citizenship gratis dari Google dan Common Sense.
Seperti itu getolnya Pustakawan Mendunia mengejar ilmu yang sebenarnya kebanyakan malah gratis. Hanya butuh komitmen dan kesungguhan kita untuk terus belajar. Pustakawan Mendunia berpikir, mungkin karena Direktur Inovasi melihat kesungguhan ini, beliau membukakan pintu dan memberikan kepercayaan berkolaborasi. Tanpa ‘restu’ beliau, semua perencanaan yang dibuat Pustakawan Mendunia ini hanya akan menjadi seonggok file yang terbuang di recycle bin folder.
Jangan menyerah, kita sudah berada in the right track! Terus bergerak, Pustakawan Mendunia!