Sering kali Pustakawan Mendunia ditanya apa tips menjalankan program perpustakaan yang berhasil di sekolah atau di taman bacaan? Seakan-akan Pustakawan Mendunia adalah seorang penyihir yang bisa melakukan simsalabim, semua dapat berjalan begitu saja dengan mudah. Dalam banyak kesempatan, terlebih sesudah menjalani karier sebagai Pustakawan lebih dari sepuluh tahun, Pustakawan Mendunia akhirnya memahami bahwa kunci kesuksesan jalannya program perpustakaan bukan hanya bergantung pada si Pustakawan, tapi dari dukungan pimpinan organisasi kita. Cara komunikasi kita sebagai Pustakawan, memegang peranan penting.
Jadi bagaimana caranya memulai percakapan dengan boss kita? Haruskah Pustakawan menjadi boss pleaser, apa yang boss minta harus semua kita iyakan? Inspirasi tulisan ini datang dari undangan Ibu Yeni Budi Rahman, dosen Ilmu Perpustakaan dan Informasi dari Universitas Indonesia. Ibu Yeni meminta Pustakawan Mendunia untuk berbagi pengalaman dalam mata kuliah Ilmu Komunikasi di program studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi UI. (Baca juga: 8 Program Sarjana Ilmu Perpustakaan Terbaik di Indonesia). Pustakawan Mendunia kemudian terpikir untuk menuliskan materi presentasi itu dengan judul Cara Mengasah Kemampuan Komunikasimu sebagai Pustakawan, yaitu dengan:
- Teori Komunikasi yang Tidak Kontekstual, dan Pilihan Kita
- Gambar Diri sebagai Pustakawan dan Perspektif Orang Lain
- Patahkan Stigma Masyarakat, Berbicara dengan Karya
- Tahu dan Bisa Menempatkan Diri
- Buahnya, Ketika Berhasil Mengasah Kemampuan Komunikasi
- Komunikasi adalah Kesempatan
1. Teori Komunikasi yang Tidak Kontekstual, dan Pilihan Kita
Tidakkah kita semua bertanya-tanya, begitu banyak buku tentang komunikasi dijual di toko buku, namun masalah komunikasi sering kali muncul di permukaan di dalam banyak aspek kehidupan kita? Jika kita perhatikan, buku komunikasi yang dijual di toko buku kebanyakan adalah buku terjemahan dari dunia barat, seperti Amerika Serikat. Dalam konteks di Amerika Serikat, ke-aku-an atau individualisme sangatlah kental. Satu orang di Amerika Serikat memiliki hak suara yang bisa didengar dan really matters. Lihatlah misalnya dalam banyak film action Hollywood, begitu susah payah CIA atau FBI bekerja keras untuk menyelamatkan semua orang, sampai satu jiwa terakhir, dia yang menjadi korban terorisme atau penculikan. Di Indonesia? Nyawa rasanya begitu ‘murah’.
Konteks Indonesia sangat berbeda dengan di luar Indonesia, terlebih jika dibandingkan dengan mereka yang ada di negara maju. Harus kita akui bahwa jejak feodalisme sangat bercokol kuat setelah kita dijajah lebih dari 350 tahun. Ada sebuah lapisan dalam struktur masyarakat, sampai di unsur terkecil, di mana orang ‘biasa’ tidak punya hak bicara, tidak didengar, dan tidak dianggap. Dan demikianlah feodalisme masih bercokol sampai hari ini, sampai di semua lini unsur kehidupan kita di Indonesia.
Ini kenyataan, sulit juga dibilang pahit atau tidaknya, tapi it happens. Siapalah kita ini, anak muda yang merasa bisa mengubah dunia, kecuali mungkin kalau jumlah kita ada sepuluh, seperti kata Soekarno,
Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.
Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia
Pilihan kita, mau ikut arus atau melawan arus? Jika mau melawan arus, saran Pustakawan Mendunia, sebaiknya putarlah haluan untuk membangun usaha sendiri atau melakukan entrepreneurship. Namun, jika kita masih ada di dalam struktur sebagai pegawai, mau tidak mau, kita harus tahu cara menempatkan diri dalam politik kantor yang feodalistik di Indonesia. Jika ini terjadi di berbagai macam lini kehidupan / profesi di Indonesia? Lantas bagaimana yang berprofesi sebagai Pustakawan? Bagaimana cara mengasah kemampuan komunikasi kita sebagai Pustakawan?
2. Gambar Diri sebagai Pustakawan dan Perspektif Orang Lain
Setelah bisa menerima kenyataan bahwa bekerja di Indonesia bersifat feodal, saatnya kita berefleksi melihat diri sendiri. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri dałam profesi sebagai Pustakawan? Sekalipun Indonesia feodal, jangan sampai kita menghilangkan identitas kita. Tetap miliki idealisme, dunia apa yang kita inginkan untuk terwujud, tapi tetaplah menapak Bumi dan memperhatikan keadaan di sekitar kita. Kalau kata alm Bang Benjamin S dulu, jangan sampai kita mati rodok.
Apakah kita ‘termakan’ oleh stigma masyarakat bahwa profesi Pustakawan hanyalah menjaga buku dan membersihkan debu di perpustakaan? Banggakah kita menjawab, ketika orang bertanya apa pekerjaan kita? Apakah kita menjawab dengan penuh antusias atau justru berusaha mengalihkan topik pembicaraan ke arah lain?
Bagaimana profesi Pustakawan bisa bangkit dari stigma masyarakat seperti ini, jika pustakawannya sendiri saja tidak bangga akan profesi sendiri? Sulit untuk kita bekerja for an extra mile, dan memberikan lebih dałam pekerjaan kita, jika kita tidak menyukai pekerjaan kita. Jadi sebelum kita ‘mengoreksi’ pandangan orang lain terhadap profesi kita, kanapa kita tidak terlebih dahulu mengoreksi pandangan kita terhadap profesi diri sendiri. Bagaimana orang lain, terlebih atasan bisa respect terhadap pekerjaan kita, kalau kita sendiri tidak punya rasa percaya diri terhadap pekerjaan yang kita lakukan.
Mindset kita melihat diri sendiri ini akan sangat besar pengaruhnya terhadap cara komunikasi kita sebagai Pustakawan.
3. Patahkan Stigma Masyarakat, Berbicara dengan Karya
Yang membuat orang lain memiliki respect terhadap profesi kita bukanlah dengan sesumbar misalnya mengatakan kita ini lulusan mana, atau punya koneksi siapa, atau merupakan keturunan darah biru dari mana. Yang membuat orang respect kepada kita adalah jika perbuatan dan karakter kita sesuai dengan apa yang kita citrakan atau katakan. Dimulai dengan sederhana, dengan selalu datang ke kantor tepat waktu, lebih bagus lagi kalau bisa datang lebih awal. Hadir, jangan mangkir dari tugas dan rapat, selalu alert, jangan melamun, apalagi melihat-lihat kapan jam kantor selesai kalau sudah sore hari, menjelang pulang. Terlebih, jangan sibuk mendownload drakor atau film di jam kerja yang akhirnya membuat pekerjaan terbengkalai, tidak bermain game Zuma, Solitaire, atau justru malah berani tidur siang di perpustakaan. Kesemua tindakan inilah yang membuat orang memandang rendah profesi kita.
Pustakawan Mendunia berharap tidak ada lagi Pustakawan atau staf perpustakaan yang bersikap demikian, apalagi mereka yang membaca tulisan ini. Ini bukan isapan jempol, tapi ini fenomena yang terjadi di balik ‘layar’ perpustakaan. Bagi Pustakawan Mendunia, rasanya diri ini tidak sanggup untuk datang ke kantor hanya sekadar minum kopi, membaca koran, bermain Zuma, dan lantas kemudian pulang. Rasanya kapasitas otak ini kenapa malah mubazir dan tidak optimal digunakan.
Fixed Mindset?
Ada pula Pustakawan yang berpikir karena gaji kecil, jadi untuk apa bekerja capek-capek? Sayang sekali bahwa fixed mindset seperti ini akan menutup pintu kesempatan untuk si Pustakawan maju dan membuat inovasi yang berdampak luas di masyarakat. Kembali kita berefleksi, mengapa kita memilih jalan samurai ini, berprofesi menjadi Pustakawan? (Baca juga: Apakah Menjadi Seorang Pustakawan adalah Sebuah Panggilan?)
Jika kita adalah apa yang kita katakan, orang tentu akan memiliki respect terhadap kita, terlepas apapun profesi atau pekerjaan kita. Oleh karena itu, jawaban terbaik untuk menumbuhkan respect orang lain terhadap profesi kita, hanya bisa dilakukan melalui karya. Lakukan tugas kita, sekalipun itu dimulai dari hal-hal yang sangat sederhana. Setialah dalam perkara kecil, lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan.
4. Tahu dan Bisa Menempatkan Diri
Setelah bisa menerima kenyataan bahwa Indonesia adalah negara feodal, memperbaiki gambar diri sebagai Pustakawan, dan berbicara dengan karya, saatnya kita masuk ke tahap selanjutnya: tahu dan bisa menempatkan diri. Sebagai karyawan, terlebih jika kita adalah karyawan baru dan masih muda, kita ini dianggap nothing ketika masuk ke dalam stuktur pekerjaan. Kita dianggap tidak tahu apa-apa, anak kemarin sore, anak ingusan. Lantas apa sih yang bisa si anak ingusan ini lakukan? Demikian kurang lebih pandangan atasan feodal terhadap profesi kita.
Oleh karena itu, si Pustakawan baru ini harus bisa menyelami seperti apa budaya bekerja atau working culture di organisasi tempat kita bekerja. Apakah di sana mendorong adanya inovasi atau perubahan? Apakah ide baru banyak disambut secara positif? Atau justru ide baru malah dilepehkan oleh boss? Seberapa kental level feodalisme di organisasi tersebut? Ternyata level feodalisme ini bisa mempengaruhi cara komunikasi kita sebagai Pustakawan.
Jika Feodalisme Kantor ada di Level 7-10
Jika feodalisme di kantor itu bisa dikatakan ada di level 7-10, Pustakawan harus bisa memahami bahwa ini bukan tentang kita yang bodoh atau tidak mampu. Ini semata adalah gaya leadership pimpinan. Jadi jangan sampai baper dan membawa ke dalam hati kalau misalnya ide kita ditolak mentah-mentah. Berbicaralah dengan fakta dan data. Buat bahwa ide kita bukan datang dari diri kita sendiri atau bukan berdasarkan pengalaman bekerja kita sebelumnya. Tidak perlu menyebutkan prestasi kita di tempat kerja kita sebelumnya, karena itu tidak ada gunanya.
Carilah faktor pendukung, misalnya ada usul dari siswa, orang tua, atau dari guru. Tidak perlu mengambil credit sama sekali kalau ide itu dari kita. Kalau perlu buat seakan-akan ide itu datang dari boss. Oleh karena itu, sangat penting kita memiliki motivasi bekerja yang benar. Jika motivasi bekerja kita adalah target kenaikan gaji atau ingin dipuji boss, itu semua tidak akan mampu menjadi bahan bakar kita untuk bisa kuat menempatkan diri dalam politik kantor yang feodal. Dibutuhkan kerendahhatian atau humility, bahwa kita bekerja untuk sesuatu yang sangat berharga, dan sesuatu yang berharga itu nilainya jauh di atas angka gaji yang kita peroleh setiap bulan.
Motivasi intrisik inilah yang membawa Pustakawan Mendunia terus bisa survive melewati berbagai macam tantangan dałam pekerjaan. Sekaligus menjadi salah satu falsafah Pustakawan Mendunia: Pustakawan Menyebarkan Nilai Kebaikan.
Jika Feodalisme Kantor ada di Level kurang dari 7
Bersyukurlah jika kita berada dałam organisasi yang level feodalismenya kurang dari 7. Paling tidak kita berada di dałam lingkungan kerja yang menghargai usaha dan ide. Walaupun tipe leadership seperti ini mendukung pekerjaan kita untuk membuat perubahan, bukan berarti Pustakawan kemudian bisa langsung begitu saja mengajukan ide. Selalu mulai dengan berbagi konteks, masalah apa yang kita hadapi di perpustakaan, kemudian bentuk kalimat kita dałam bentuk usulan, “Bagaimana jika … ? Bagaimana menurut Bapak/Ibu?”
Datanglah dengan konteks berpikir bahwa kita bertanya, sekiranya boleh atau mendapatkan restu untuk bisa jalan terus dengan program yang kita ajukan. Datanglah dengan perencanaan mendetail, paling tidak ada rancangan tertulis, dan berikan beberapa pilihan skenario kepada pimpinan. Karena pimpinan kita pastinya sangat sibuk dan punya jadwal padat, pastikan ketika meminta jadwal bertemu dengan beliau, Pustakawan datang dengan berbagai macam daftar pertanyaan. Sehingga waktu meeting bisa efektif.
Sekalipun di organisasi ini level feodalismenya sudah lebih rendah, tapi bukan berarti tidak ada feodalisme. Pustakawan harus menempatkan diri sebagai anak buah, sepintar apapun diri kita merasa. Semua prestasi di tempat kerja sebelumnya ataupun lulusan mana kita, itu semua luntur di depan atasan. Ketika boss seperti ragu dan mengisyaratkan bahwa ide kita seperti sulit atau sebaiknya ditunda, jangan ngeyel dan tetap berargumen. Sebaliknya, langsung amini saja pernyataan boss kita. Berpikirlah, jika boss pun tidak atau belum setuju, itu pun tidak berarti kita kurang-kurang pekerjaan. Karena memang pekerjaan kita masih ada banyak dan menumpuk.
Kalau pun memang Pustakawan ingin memberikan pernyataan untuk mendukung jalannya ide baru di perpustakaan, cukup katakan, “Saya pernah baca artikel di sini…” atau “Berdasarkan pengalaman saya, …” Itu cukup bisa mengambarkan bahwa ide kita bukan pepesan kosong dan memang sudah kita pikirkan dan persiapkan baik-baik sebelum meminta meeting dengan atasan.
Tetap Miliki Respect terhadap Atasan
Apapun jawaban Atasan, terlepas kita berada di organisasi yang level feodalismenya di atas atau di bawah 7, tetaplah miliki respect terhadap atasan. Tidak ada yang suka berpapasan dengan orang yang berwajah masam di kantor. Tetaplah memiliki manner yang baik, sekalipun menurut perspektif kita, atasan ini tidak supportif. Jika memang rasanya sudah tidak tertahankan lagi, janganlah berlama-lama berada di kantor yang toxic dan membuat tidak damai sejahtera, apalagi sampai burned out secara jangka panjang. Tidak perlu menyebarkan rumor dan bicara tidak baik tentang atasan kita.
Milikilah harga diri atau dignity, tetap miliki standard minimal, kita tahu bagaimana kita harus diperlakukan secara hormat atau respectful. Ketika situasi sudah melewati ambang batas kesabaran, kita pun manusia yang punya standard. Hal-hal yang sudah di luar batas nalar, apalagi jika ada hate speech yang dilontarkankan dari pimpinan kepada kita, itu tidak mencerminkan situasi kerja yang sehat. Pergilah ketika memang saatnya untuk pergi. Saran Pustakawan Mendunia, segeralah pergi mencari info lowongan pekerjaan di tempat lain jika hal ini sudah sampai terjadi.
5. Buahnya, Ketika Berhasil Mengasah Cara Komunikasi sebagai Pustakawan
Seperti ada pepatah yang bilang, “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Setelah penderitaan bekerja di bawah sistem feodalisme yang mengungkung kebebasan berpikir dan berbicara, sekalipun sulit, jika kita mengetahui cara komunikasi sebagai Pustakawan, ada banyak sekali manfaat yang Pustakawan Mendunia peroleh. Ingatlah sepintar apapun kita, itu semua tidak akan berguna jika program atau ide kita menjalankan perpustakaan tidak didukung oleh atasan.
Cara komunikasi Pustakawan Mendunia sudah digembleng selama lebih dari sepuluh tahun berkarier dan akhirnya berbuah manis:
- Percaya diri ketika berkomunikasi dengan Pustakawan lain (Baca juga: Mengikuti IFLA World Library and Information Congress)
- Dipromosikan untuk mengikuti event atau kompetisi terkait kepustakawanan (Baca juga: Menjadi Pustakawan Berprestasi Terbaik Provinsi Papua)
- Pemustaka puas dengan hasil pekerjaan kita (Baca juga: Sayang Perpustakaan, Sayangi Pustakawanmu)
- Kita menginspirasi pemustaka kita (Baca juga: Melatih Anak (Juara) Senang Mendongeng)
- Kita menginspirasi komunitas kita (Baca juga: Webinar Inovasi Pustakawan untuk Indonesia)
- Kita dipromosikan dalam karier (Baca juga: Pustakawan sebagai Academic Support)
- Kita menjadi pemimpin (Baca juga: Selamat Datang di Pustakawan Mendunia)
6. Komunikasi adalah Kesempatan
Percayalah bahwa tidak ada yang salah dengan kita menebar kebaikan. Milikilah kerendahhatian atau humility, bahwa yang kita kerjakan adalah dałam kapasitas yang terbaik yang bisa kita lakukan, untuk bisa berdampak positif di tengah-tengah masyarakat (Baca juga: Siap-Siap Tersengat Inspirasi dalam Asian Festival of Children’s Content). Ini bukan tentang ego menunjukkan diri sebagai someone, atau something big. Jangan mudah putus asa dan langsung menyerah ketika mentok mengalami masalah komunikasi yang macet dengan pimpinan. Hidup kita bukan cuma terbatas dengan titel profesi bekerja kita sebagai Pustakawan di sebuah perpustakaan atau organisasi X. Kita lebih dari itu. Karya yang kita berikan, susah payah yang kita berikan, konversi nilainya jauh di atas angka pada slip gaji bulanan kita.
Kerja keras tidak membohongi hasil. Cara komunikasi kita sebagai Pustakawan, jika disertai dengan karya nyata akan membuka banyak pintu kesempatan. Miliki harga diri atau dignity, jadilah pribadi yang tidak bisa dibeli dengan uang. Bekerjalah bukan dengan mindset takut dengan boss. Pustakawan Mendunia berharap semakin banyak pustakawan yang bisa terus maju mewujudkan visi literasi di dalam karya, demikian cara mengasah kemampuan komunikasimu sebagai Pustakawan.
Baca juga:
9 Ide Kreatif Merancang Pekan Buku, Literasi, dan Perpustakaan di Sekolah
8 Tips Memulai Perpustakaan dari Nol
Menjadi Pustakawan tanpa Batas
5 Tips Sukses Bekerja Pertama Kali Menjadi Pustakawan